Ada anak berhidung cangkang kerang. Serupa tiram terbelah tanpa mutiara. Hanya cangkang yang keras meski terantuk-antuk godam juga palu.

Hidungnya cangkang kerang. Rambutnya ikal keriting. Tipis. Hanya seratus ribu helai. Setiap helainya sama dengan sepertujuh satu helai rambut anak lain. Pipinya bulat. Lengannya ranum. Kakinya pendek. Pakaiannya baju kurung kuning gading.

Pernah satu kali si anak hidung cangkang kerang menemuiku: menyiapkan empat belas sisir pisang masak juga dua ekor ayam petelur untuk membayarku sebagai ahli nujum. Ia ingin mengganti hidungnya dengan cangkang kerang yang lebih rapat: serupa kuwuk sebagai biji-biji congklak. Ia ingin hidungnya semakin rapat.

Duhai anak manis, sudahlah cukup elok hidungmu yang bercangkang kerang layak tiram. Mengapa kau ingin mengganti hidung semungil kuwuk biji congklak?

Aku tak ingin banyak hal juga udara kuhisap wahai nenek nujum. Terlampau banyak asap juga dendam hitam banyak kuhirup.

Melihatnya berkata dengan mata berkaca, kukabulkanlah inginnya. Meski bayaranku sebagai nenek nujum sedikitnya 2 kantung penuh koin yang mengkilap.

Kuganti hidungnya dengan cangkang kuwuk biji congklak. Mungil. Hanya gerigi kecil yang tersisa meninggalkan ruang untuknya menghirup napas.

Kali berikutnya tak lama: anak itu datang kembali– membawa seekor anak unta betina. Ia menangis menghampiriku. Terisak tersendat ia bicara:

Nenek nujum, aku ingin menyumbat gerigi hidungku.

Mengapa anak manis?

Tubuhku menggelembung penuh asap. Hitam juga muslihat. Aku tak ingin lagi mereka menyusup tubuhku. Bahkan dari gerigi kecil hidungku. Aku ingin hidup lebih lama dari anak unta ini.

*untuk Anak-anak di Sumatera dan Kalimantan yang terpapar bencana asap kebakaran hutan.
image: beritasatu.com

One thought on “Hidung Cangkang dan Nenek Nujum

  1. Jika kabut asap bisa dijadikan kerajinan tangan, mungkin Sumatera dan Kalimantan telah penuh cendera mata asap yang siap dibagi-bagikan kepada para pengunjung yang datang ke negeri kabut.

    Banyak orang-orang merindukan hujan. bukan rindu dengan airnya, namun rindu dengan udara yang melegakan saat kami hirup untuk bernafas.

    Pada satu waktu, hujan datang, udara pun kembali segar. Sebagian banyak dari kita sumringah. Semoga hujan segera tiba lalu sorak sorai dan riuh bahagia bermekar, lengkung sabit tergambar di wajah-wajah berjelaga.

    Like

Leave a comment