Ada seorang tua. Yang selalu duduk di satu sudut di sebuah Pasar Legi. Yang pekerjaanya memberi. Yang tidak menerima bayaran. Yang memilih manusia. Ia sesekali membawa ikan layur. Kadang begono kumplit. Atau jenang upih dan benguk bacem. Sesekali ia hanya membawa blestru mentah tiga lonjor. Kadang juga hanya beberapa ikat kenikir. 

Jariknya bladus. Tapi tidak kumal. Bibirnya tidak hitam. Bicaranya tidak terbata. Ia tegas tidak lirih. Beberapa kali aku menemuinya berjalan kaki, menuju langgar dekat kecamatan. Diamnya disitu ia beberapa bentar. Kadang sangat lama. Lalu kembalinya ia ke sudut biasa. Dengan rambut dan wajah masih basah. Dengan tak henti mengomel tak henti menggrundel.

Embah Lanjar namanya. Ia tidak berjualan di Pasar Legi. Ia hanya duduk kemudian memilih. Kepada siapa ia akan memberikan bawaanya hari itu. Bisa siapa saja. Bisa kapan saja. Bisa apa saja. Bisa semau-maunya dia saja. Bisa-bisanya sebisanya saja. Orang yang ia pilih untuk diberikan bingkisan bawaannya pun tidak dapat diketahui. Sesukanya Embah Lanjar. Bisa sangat kaya bisa sangat miskin. Bisa sangat tua bisa masih jabang bayi. Bisa ia memberi bisa tidak sama sekali. Sesuka-sukanya kesukaan ia sendiri.

Ada yang tidak terperhatikan. Dia selalu terlihat mengomel seolah-olah grundelan sendiri. Mungkin mantra. Entah pengasihan atau pesugihan. Yang jelas bukan penglaris. Ada yang tidak terperhatikan: grundelannya tidak pernah henti ia omelkan. 

Semakin hari semakin banyak ia membawa: karena dilihatnya makin banyak anak-anak berlari-lari di dekat amben biasa ia duduk dan memilih–manusia mana yang akan ia berikan bingkisan hari ini.

Semakin banyak manusia yang mencintai Embah Lanjar. Semakin banyak yang memaksa membayar atas apa yang Embah Lanjar pilih untuk berikan. Beberapa anak-anak takut. Karena menganggap Embah Lanjar membaca mantra untuk menghilangkan anak-anak; membuat mereka menjadi tidak terlihat. Dan dikirim ke dimensi berbeda. Mereka takut dan mengira, Embah Lanjar adalah prajurit wewe gombel yang menyamar. 

Tapi tidak sedikit pula bocah yang mendekati Embah Lanjar, berharap hari itu mereka diberi gulali kacang oleh Embah Lanjar. Soal urusan mantra, itu urusan kemudian kemudian kemudian. 

Para orang tua anak-anak itu, dan orang tua-orang tua dari orang tua anak-anak itu pun sama. Beberapa takut dan menjauhi, jerih menerima pemberian Embah Lanjar, karena berpikir dia adalah danyang. Yang membagi-bagikan paket sedekah dari alam jin. Mereka jerih menerima, jerih menemui, bahkan tak jarang mereka tak jadi masuk Pasar Legi supaya tidak melewati amben Mbah Lanjar biasa duduk dan menunggu.

Sebagian lain, ada yang justru mendekati berharap dirinyalah yang terpilih oleh Embah Lanjar hari itu untuk diberikan bingkisan. Karena menganggap apa yang Embah Lanjar berikan adalah bagian dari mereka untuk ngalap berkah. Embah Lanjar bagi sebagian lain sudah seperti wali, karena kebaikan hatinya. Karena keras kepalanya ia memaksa memberi meski kadang tidak ada lagi yang ia punyai.

Embah Lanjar Embah Lanjar. 

Di suatu sore sudah menjelang gelap: di pertigaan Kalawenang ketika itu mendadak ramai berkerumun orang. Entah mereka masing-masing siapa. Entah hendak apa masing-masing mereka. Mereka mengerubungi setutupan koran diatas tubuh. Seorang tua. Pemilik sudut di Pasar Legi.
Embah Lanjar: mengejarnya ia seorang anak PAUD, akan diberikannya cenil gula merah. Tertabraknya ia oleh bus menuju Kulon Progo. Bersamaan dengan telolet yang dikabulkan pengemudi untuk si anak PAUD yang meminta. 

Dia tertabrak bus yang berbunyi telolet meriah. Bersamaan grundelan yang ia keraskan karena terkaget. Dan saat itu, beberapa menit sebelum tubuhnya hanya ditutup koran, pertanyaan orang-orang dekat Pasar Legi terjawab. Grundelan dan omelannya tidak lebih dari: Laa illaha ilallah.

15 thoughts on “Embah Lanjar

Leave a comment