#CeritaAjaIniMah: Mang Someah dan Sedekah

Jadi, kebaikan pagi ini diberikan oleh Mang Someah penjual bandros. Bagi yang tidak tahu, bandros adalah sejenis kue dari daerah Sunda dengan adonan tepung beras encer yang didalamnya terdapat banyak sekali serutan kelapa, dimasak dalam cetakan cekung setengah lingkaran. Rasanya asin. Berbeda dengan daerah Jakarta, kue hampir serupa disajikan dengan gula. Bernama kalau tidak salah kue rangi.

Mang Someah selalu someah. Someah adalah bahasa sunda untuk sikap seseorang yang selalu ramah pada siapapun, selalu tersenyum, dan terbuka memberikan kebaikan.

Mang Someah selalu melewati depan rumah orang tua saya setiap paginya. Sejak dulu, Mang Someah berjualan bandros. Beliau sering bercerita pada saya sejak kecil, sampai saya seusia ini, Mang Someah jika berpapasan atau melihat saya dari jauh di jalan komplek, selalu lebih dahulu menyapa ‘Bade angkat kuliah neng? Sok sing pinter didoakeun ku Mang’. Selalu begitu. Padahal Mang Someah itu usianya jauh lebih tua dibandingkan Bapak saya. Tapi tentu, dengan someahnya Mang Someah akan dengan ceria menyapa saya duluan jika melihat saya dari jauh. Saya reflek menjawab ‘Muhun Mang bade kuliah. Punten ih Mang, saya gak ngelihat Mang. Malah Mang yang nyapa duluan.’

Tentu Mang Someah akan menyapa dengan someah, ‘Ah wios Neng, bukan masalah. Da nuju sedekah Mang ge. Nentramkeun hate. Sanes masalah umur. Ari bageur jeung silaturahmi mah ka saha wae’

IHHHH! Pengen nangis ya bacanya. Mang Someah makasih lho. Saya dapat pelajaran.

Dari dulu saya selalu berpikir, gimana caranya saya sedekah, lha uang juga masih dikasih Ibu Bapak, masih sekolah. Buat jajan sendiri aja kokoreh. Ibaratnya begitu. Gimana ya caranya sedekah kalau gak punya uang.

Satu teman pernah bilang bersedekah dengan kebaikanlah.

Mang Someah menegaskan. Dengan stabilo. Dengan font yang di bold. Dengan garis bawah. Dengan huruf kapital: sedekah paling sederhana dan tapi tentunya besar adalah dengan awal mulanya tentu– someahlah!

Lalu tadi pagi, saya dengan girang jajan bandros. Entah kenapa, kalo jajan bandros sama Mang Someah ini bawaannya girang bahagia. Mungkin karena beliau jualannya tulus penuh senyum ramah, dan juga suka nambahin bandros sampai tiga biji. Hahaha.

Ingat soal nambahin bandros ke orang yang jajan; kebaikan Mang Someah belum berhenti dong untuk diceritakan.

Pernah suatu ketika saya mau berangkat kuliah pagi-pagi. Jalan cari ojek, eh ketemu Mang Someah lagi ngetem mematangkan bandros sambil cingogo. Menyapa seperti biasa ‘Angkat kuliah Neng?’ Terus saya memutuskan, jajan bandros ah! Untuk sarapan di kampus. Dan setelahnya ada tiga anak datang, ‘Mang, meser sarebueun, tapi tilu nya mang’. Untuk diketahui, harga umum bandros Mang Someah adalah Rp. 500 per buah. Dan Mang Someah malah memberikan empat untuk harga seribu ke tiga anak ini. Anak-anak itu girang berlari setelah dapat bandros.

Mang Someah cuman ketawa girang ngomong pada saya, ‘Meni bingah nya Neng. Mang mah menyenangkan orangnya dengan bandros saja bisanya. Sedekah neng ini mah untuk hate Mang’

Jadi ingat lagi kan, Tuhan itu Maha Kaya, Dia tidak butuh apa yang kita punya. Apa yang kita sedekahkan itu sebenarnya untuk diri kita sendiri!

Cerita Mang Someah belum selesai. Tadi, ketika saya jajan, Mang Someah seperti biasa bercerita. Jadi, komplek rumah Ibu Bapak tempat saya numpang sejak bayi ini ada di satu komplek standar perumahan. Ada tujuh komplek. Saya di komplek kedua, dan berbatasan langsung dengan komplek enam dan satu. Ada banyak jalan yang membuat komplek ini saling tembus. Dan Mang Someah ini, ceritanya sedang curhat. Kalau jalan menuju komplek enam yang berbatasan langsung dengan komplek dua itu dipagar tinggi dan di portal. Yang intinya, pedagang gak bisa lewat. Apalagi Mang Someah dengan tanggungan pikulannya. Orang berjalan kaki saja tidak bisa.

Disitu saya berpikir ‘Kok gitu amat ya. Jalan ditutupin, orang gak boleh lewat. Lha dia lewat jalan orang lain’

Berbasis pengetahuan agraria sewaktu sekolah, ada prinsip sakral dalam hukum tanah: tanah harus memenuhi fungsi sosial– artinya tanah apabila keberadaannya menghalangi orang lain, pemilik tanah harus menyediakan jalan bagi orang-orang yang terhalangi. Termasuk soal jalan, apabila telah ada jalan, maka jalan itu harus dapat digunakan oleh siapapun demi kemanfaatan–asas sakral juga dalam hukum.

Dan penutupan jalan sehingga tidak bisa dilewati orang lain, merupakan penutupan jalan sedekah juga sebenarnya bukan?

Sedekah, akan selalu dan sebaik-baiknya adalah merupakan hal yang kita tidak pernah sadari bahwa itu bersedekah.

Mang Someah mengajari saya. Meskipun tak pernah sedikitpun beliau berniat mengajari. Apalagi menggurui. Sikapnya yang tidak beliau sadari sudah sangat penuh pembelajaran bagi yang melihat. Bahwa sedekah bisa sesederhana ini, dengan kebaikan lebih banyak dari satu peti emas.

Maka musnah sudah kekhawatiran saya yang tidak memiliki harta benda berlimpah sehingga tidak bisalah saya bersedekah.

Maka, saya memulai dengan menyiram kembang juga tanaman. Saya mau bersedekah bagi makhluk yang tak henti bertasbih. Semoga beberapa tetes air yang saya ambilkan dari keran — yang sebenarnya air juga berasal dari langit dan diturunkan oleh Maha Kaya — membuat makhluk hijau tidak kehausan. Karena mereka tak henti bertasbih.

Jadi sebenarnya saya tidak mengeluarkan apa-apa. Saya mengambil untuk diri saya sendiri.

Cerita Aja Ini Mah: Mata Tertutup

Kenal orang yang teramat sangat suka tidur dan menutup mata?

Jangan terlampau cepat menyebut dia malas.

Ingat salah satu episode Ally McBeal *lagi-lagi* (maklum baru pertama kali nonton setelah diputar ulang di Fox sekarang, dulu waktu serial itu berjaya, saya masih kecil banget belum ngerti nonton begitu selain Ulil tokoh ulet di cerita Si Komo) — ada satu nenek menggugat (atau digugat ya, lupa) pada negara. Karena dia merasa tidak mendapat haknya sebagai warga negara untuk dapat bantuan medis dari rumah sakit. Apa bantuan medisnya? Membuat dia tertidur!

Jadi, si nenek ini meminta rumah sakit untuk menyuntikkan sejenis obat untuk membuat dia tertidur lama. Rumah sakit menolak, dengan alasan obat tersebut membuat orang tertidur dan bisa mematikan organ dan apalah intinya membahayakan. Oleh karenanya si nenek menggugat.

Pertanyaanya: kenapa si nenek begitu ingin dibuat tidur yang lama? Rasa sakit fisik akibat penyakit? Bukan juga.

Jawabannya: karena si nenek ingin bermimpi.

Dan ketika dia tidur, si nenek hampir selalu senyum bahagia. Alasannya hanya karena nenek ini ingin bermimpi. Si nenek sudah tidak memiliki sanak keluarga. Suaminya, laki-laki yang teramat dicintainya sudah meninggal. Si nenek selalu bertemu dengan suaminya di mimpinya: berdansa, piknik di taman, memasak, dan menjadi muda.

Ada kalanya tentu, si nenek mimpi buruk; ia mengakuinya. Tapi, baginya tertidur dan bermimpi jauh lebih ia sukai untuk dihadapi dibandingnya alam sadarnya yang tidak menawarkan apa-apa di masa tuanya yang tinggal sebentar lagi.

Dan kebahagiaan hatinya yang ia mampu raih adalah dengan mata tertutup dan kesadaran diletakkan sebentar.

Saya, lalu teringat seorang teman, Aby, dia selalu mengatakan: hal-hal terbaik akan kita rasakan dengan tepat dan benar juga utuh, ketika mata kita tertutup.

Barusan, sejak sehabis maghrib sampai cukup malam, saya duduk-duduk di teras. Sehabis siram-siram kembang: ada yang menyadarkan saya. Ada wangi berbeda– seperti wangi teh melati, juga seperti wangi pisang yang segar, kadang seperti nagasari baru matang, kadang seperti kembang kemuning. Wanginya teramat baru. Ternyata itu adalah wangi dari bunga tanaman (semacam) lidah buaya, yang tidak berduri dengan lis kuning dan loreng hijau ditengah. Bunganya berbentuk seperti yang saya ingat ketika kecil– bunga pembersih botol, bentuknya seperti alat pencuci botol– dengan kelopak kecil seperti bulir-bulir jeruk.

Wangi yang teramat baru yang menyihir itu ternyata bisa saya resapi wanginya dalam jarak setengah meter, tentunya dalam keadaan mata tertutup, menghirup dalam.

Anehnya, ketika saya dekati, menempelkan hidung saya pada bunga itu, dan melihat lekat-lekat: tidak tercium wangi apapun!

Itu baru satu contoh kecil kesaksian mata tertutup itu justru membuka penglihatan.

Selain itu, tadi ada banyak suara jangkrik dan angin yang pelan. Syahdu. Syahdu ketika mata saya tertutup dan benar-benar memasang telinga. Ketika saya buka mata, yang terdengar hanya suara kentongan bambu tukang baso tahu. Percaya gak percaya. Ya itulah. Mata tertutup itu membuka penglihatan yang lain.

Ada lagi, satu lagi. Suara adzan. Bersahut-sahutan. Tutup mata. Yang terdengar akan membuat merinding. Karena kita akan merasa: seluruh semesta sedang saling berlomba memuji dan bertasbih. Kita akan merasa maha kecil dibanding Maha Agung. Suara yang kita dengar akan magis. Karena terbayang setelah suara yang berseru lantang bersahutan setelahnya: akan ada ribuan juta orang mengikuti memuji bertasbih dan menyembah tokoh utama dalam seruan itu– Sang Maha Agung.

Coba buka mata ketika bersahutan adzan: yang terdengar hanya suara teriak yang tersaring serak-serak karena pengeras suara yang bergeser-geser. Susul menyusul paling lantang saling berlomba.

Setidaknya, itu yang saya alami dan percayai: mata tertutup membuka penglihatan.

Ingat Imogen Heap bilang: more you look less you see, close your eyes!

Begitupun dalam berdoa. Atau perihal-perihal yang mengasah rasa. Pencapaian kebahagiaan. Sugesti diri. Bersyukur. Menghayati nikmat. Menenggelamkan kesedihan. Mengalihkan rasa sakit. Semuanya. Perihal rasa. Lakukan dengan mata tertutup.

Karena hidup tak selamanya dijalankan dengan cara kerja mekanis. Yang menjadikanmu menjadi manusia adalah perihal rasa. Yang hanya bisa kau isi dalam-dalam, atau dangkal bahkan tak mampu kau ciduk.

Berdialoglah dengan dirimu. Dengan alam. Dengan suara. Dengan keinginan dirimu sendiri. Tubuhmu–yang bahkan hanya mati tanpa ruhmu– kadang lebih mengetahui perihal yang paling rahasia, dibandingkan diri kita sendiri.